Penulis: Dwi Bowo Raharjo
Dua jurnalis Reuters Wa Lone (32) dan Kyaw Soe Oo (28) divonis tujuh tahun penjara oleh pengadilan Myanmar. Merespon kabar tersebut, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta buka suara dan mengecam keras vonis tersebut.
Ketua AJI Jakarta Asnil Bambani Amri menilai vonis tersebut merupakan ancaman serius bagi kebebasan pers, sekaligus preseden buruk dan kemunduran besar bagi demokrasi Myanmar.
“Kondisi kebebasan pers di sana memburuk sejak militer mengintervensi konflik horizontal di Negara Bagian Rakhine, pada Agustus 2017,” kata Asnil melalui keterangan tertulisnya, Jumat (7/9/2018).
“Kekerasan terhadap komunitas Muslim Rohingya terus terjadi, menyebabkan lebih dari 700.000 orang melarikan diri ke Bangladesh. Militer terus berupaya menutup akses jurnalis, baik lokal maupun internasional, untuk meliput tragedi kemanusiaan itu,” Asnil menambahakan.
Menurutnya kemenangan Partai Liga Nasional untuk Demokrasi yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyii (Peraih Nobel Perdamaian) pada 2010, tidak menjamin kebebasan pers di Myanmar kian membaik.
Tercatat pada tahun 2017, 20 wartawan lokal dituntut di pengadilan karena dianggap melanggar UU Telekomunikasi.
“Vonis 7 tahun penjara terhadap Wa Lone dan Kyaw Soe Oo memperburuk kebebasan pers di Myanmar,” katanya.
Untuk diketahui, Wa Lone dan Kyaw Soe Oo saat itu tengah menyelidiki pembunuhan 10 warga Rohingya di Desa Inn Din, pada September 2017.
Keduanya berhasil memperoleh beberapa dokumentasi foto yang menunjukkan kesepuluh orang itu sedang berlutut menunggu detik-detik eksekusi. Foto lainnya menunjukkan mayat dikubur dengan tubuh penuh luka tembak.
“Reuters menerbitkan laporan tersebut pada Februari 2018, dimana laporan itu menjadi salah satu pendorong dunia internasional untuk menyelidiki keterlibatan militer terhadap kekerasan etnis Rohingya,” katanya.
Asnil menjelaskan, berdasarkan laporan akhir penyelidik dari Perserikatan Bangsa-bangsa berkesimpulan bahwa militer Myanmar telah melakukan upaya Genosida terhadap etnis Muslim Rohingya.
“Untuk itu, panglima tertinggi dan lima jendral lainnya harus bertanggung jawab,” katanya.
Diundang Makan Malam dan Ditahan
Nasib naas menimpa Wa Lone dan Kyaw Soe Oo pada Selasa (12/12/2017) malam. Mereka diundang makan malam dengan para petinggi polisi di luar Kota Yangoon, dan langsung di tahan secara terpisah malam itu juga. Keesokan harinya, pemerintah mengkonfirmasi bahwa keduanya ditahan karena diduga melanggar UU Kerahasiaan Negara.
Vonis terhadap Wa Lone dan Kyaw Soe Oo dibacakan majelis hakim pengadilan setempat lada Senin (3/9/2018). Dalam putusannya, majelis hakim menilai keduanya bersalah dan memvonis 7 tahun penjara.
Keduanya dianggap bersalah karena berusaha untuk membongkar dokumen resmi negara yang berpotensi “secara langsung atau tidak langsung berguna untuk musuh”.
Atas vonis tersebut, AJI berpendapat, penting bagi Myanmar dan negara-negara lain di Asia Tenggara untuk menciptakan kondisi pers bebas, yang akan mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam pemerintahan.
AJI Jakarta juga mendesak pihak-pihak berwenang di Myanmar agar menghormati hak dua jurnalis Reuters tersebut dalam menjalankan profesinya sebagai jurnalis, termasuk kebebasan berekspresi mereka.
“Dalam menjalankan kerja-kerja profesinya, jurnalis tidak boleh diancam dengan hukuman pidana,” jelas dia.
Melalui pernyataan ini, AJI dengan tegas menyatakan dukungan terhadap Wa Lone dan Kyaw Soe Oo, serta Reuters yang terus mengupayakan pembebasan mereka melalui upaya hukum di Myanmar.
“Kami juga menyerukan kepada organisasi dan individu di berbagai wilayah untuk mendukung kedua jurnalis Reuters sebagai bagian dari tindakan kolektif untuk menjaga kebebasan pers di Asia Tenggara,” katanya.
Organisasi jurnalis lintas negara yang mendukung kebebasan pers Reporters Sans Frontieres (RSF), menempatkan Myanmar pada posisi 137 dalam Indeks Kebebasan Pers Dunia tahun 2018. Angka itu turun 6 peringkat dari tahun sebelumnya, dan menjadi tren negatif untuk yang pertama kalinya bagi Myanmar sejak 2013.