Media memiliki peran penting memberikan pendidikan politik bagi seluruh lapisan masyarakat dalam pemilihan umum (Pemilu). Pendidikan politik yang memadai membantu masyarakat menggunakan hak politiknya secara sadar dan bertanggungjawab. Hak politik yang digunakan secara sadar bisa menentukan arah pemerintahan, pada tataran eksekutif dan legislatif, dalam lima tahun ke depan sesuai dengan representasi kepentingan tiap-tiap warga negara, termasuk kelompok minoritas.
Mewujudkan Pemilu dengan perspektif HAM penting untuk dikawal oleh media agar hak-hak dasar masyarakat terpenuhi. Namun, dalam Pelatihan Jurnalistik “Mengawal Pemilu Berperspektif Keragaman dan HAM” yang diikuti oleh 21 jurnalis dari platform media cetak, online, radio, dan televisi, menunjukkan masih ada media yang belum menempatkan isu HAM sebagai isu utama. Setidaknya hal itu ditunjukkan berdasarkan pengamatan para jurnalis, yang mengikuti pelatihan, terhadap medianya masing-masing yang jarang menempatkan isu HAM di halaman depan atau berita utama.
Isu HAM sebenarnya sempat menjadi isu utama dalam percakapan publik pada Pemilu 2019 pada saat debat pemilihan presiden pertama pada Januari lalu. Namun, pasca momentum debat antar capres dan cawapres itu, isu HAM kembali sepi. Padahal, menurut pemateri dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Nani Afrida, banyak isu-isu pemilu yang berkaitan dengan HAM dan belum banyak diangkat. Misalnya, pada isu keterwakilan perempuan di parlemen yang masih sekadar untuk memenuhi syarat formal partai politik untuk ikut Pemilu. Ada juga isu representasi kelompok minoritas yang terpinggirkan.
Untuk menumbuhkan sensitivitas jurnalis terhadap isu HAM dibutuhkan pemahaman atas konsep dasar HAM. Komisioner Komnas HAM Mochammad Choirul Anam menyebutkan, prinsip-prinsip utama HAM antara lain prinsip persamaan, prinsip non diskriminasi, kewajiban untuk melindungi, kelompok rentan diskriminasi berlapis, dan kewajiban positif untuk melindungi hak-hak tertentu.
Konsep hak itu melekat pada manusia. Batasan hak manusia adalah ketersinggungan dengan manusia yang lain. Sehingga itu menjadi batasan menghormati. Batasan dengan manusia yang lain itu dipengaruhi oleh pendekatan kebudayaan, bukan pendekatan kekuasaan.
Sementara dasar kewajiban di Indonesia tercantum pada Pasal 281 ayat (4) Perubahan Kedua UUD 1945, yang menyatakan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.
Sementara pada Pasal 71 dan Pasal 72 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM menyatakan, pemerintah wajib memenuhi standar HAM sesuai yang diatur dalam UU tersebut dan hukum internasional tentang HAM. Kewajiban itu meliputi bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan negara, dan bidang lain.
“Dalam konteks pemilu, diskursus HAM tidak menjadi diskursus utama. Jadi sebenarnya diskursus HAM tidak hanya pada debat pertama, tapi HAM itu bisa menjadi ukuran apakah janji itu realistis atau tidak, dan bagaimana terhadap pemenuhan janji itu,” ujar Anam saat memberikan materi HAM di pelatihan jurnalistik yang diselenggarakan pada 9-10 Maret itu di Jakarta.
Dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya, yang biasanya banyak menjadi janji kampanye pada tingkat pemilihan presiden maupun legislatif, ada tiga instrumen untuk mengukur pencapaian itu, yakni akses masyarakat, akseptabilitas masyarakat, dan kualitas dari pemenuhan hak pada bidang itu. Misalnya, pada saat membangun Puskesmas apakah itu bisa diakses oleh orang-orang tua yang sudah sepuh karena jauh dari rumahnya. Kemudian apakah dokter dan obatnya itu sesuai dengan kebutuha sehingga secara akseptabilitas dan kualitas terpenuhi.
“Semuanya bisa mengklaim menjanjikan hal-hal yang populer. Namun tidak ada yang rasional, misalnya, sesuai dengan keuangan negara. Harus dijabarkan bagaimana cara mewujudkannya, tidak hanya dari utang. Diskursus soal itu tidak ada pada pemilu ini, masing-masing pihak tidak realistis,” ujarnya.
Padahal ada instrumen yang bisa mengukur pemenuhan HAM yang mendesak dibagi dalam tahapan, yakni konsep progressive realisation. Pemenuhan yang sifatnya mendesak itu bisa dibagi dengan tahapan hingga terpenuhi kebutuhan itu. Instrumen itu bisa digunakan dengan tahapan karena, misalnya, negara tidak mampu secara keuangan.
Dalam mendukung proses pemilu berperspektif HAM dan mengawal kepentingan publik itu terinformasikan dengan akurat dan independen, AJI bekerjasama dengan Internews dan Kedutaan Belanda menyelenggarakan rangkaian pelatihan jurnalistik ini. Selain di Jakarta, pelatihan ini juga diselenggarakan di Solo, Makassar,
Medan, dan Jayapura.
Narahubung:
AJI Jakarta
https://wa.me/6281935007007