Siaran Pers
Untuk Diterbitkan Segera
Jakarta, 14 April 2021-Indonesia masih menempati posisi tiga besar, di antara India (2,64 juta kasus) dan Tiongkok (833 ribu kasus), sebagai negara dengan angka kasus tuberkulosis (TB) terbanyak di dunia dengan capaian angka 845 ribu kasus. Setiap angka tersebut mewakili kisah perjuangan pasien TB dalam kaitannya dengan hak dan perannya dalam hidup bermasyarakat.
Di sisi lain, pemberitaan TB masih sangat minim dan belum menjangkau masyarakat luas. Informasi terkait TB secara komprehensif mulai dari pencegahan, penanggulangan, solusi dan upaya-upaya lain untuk mengeliminasi TB di Indonesia juga masih perlu terus digaungkan. Peliputan TB yang ada justru masih berkutat dengan angka-angka sehingga cerita pengalaman dan realita di balik data tidak terhimpun dengan utuh.
“Isu TB hanya beberapa media yang konsisten memberitakannya. Itu pun tidak secara kontinu. Hal lain yang juga penting adalah bagaimana jurnalis perlu melihat isu ini dari perspektif HAM dan kesetaraan gender karena ternyata ada ketimpangan yang terjadi di lapangan,” ujar Afwan Purwanto, Sekretaris AJI Jakarta saat membuka diskusi daring jurnalis bertajuk “Peran Jurnalis Mengeliminasi Tuberkulosis dengan Perspektif HAM dan Kesetaraan Gender” pada Selasa (13/4/2021). Diskusi ini merupakan kerja sama Aliansi Jurnalis independen (AJI) Jakarta dengan Perhimpunan Organisasi Pasien (POP) TB.
Pengalaman terkait minimnya informasi TB disampaikan oleh Ully Ulwiyah, Ketua Yayasan Pejuang Tangguh TB RO (Peta) Jakarta. Ully bercerita kalau ia sakit TB sejak usia 10 tahun. Keterbatasan informasi tentang TB membuat orangtuanya tak pernah membawanya ke rumah sakit. Ketika dewasa, ia divonis mengidap TB kebal obat dan harus menjalani pengobatan selama 23 bulan, suntik selama 8 bulan setiap hari, dan minum obat 15 butir per hari. Efek samping yang ia rasakan mulai dari ringan hingga berat seperti depresi.
“Yang terberat yang saya rasakan itu depresi. Setiap hari tidur hanya 10 menit. Saya konsultasi ke spesialis jiwa, diberi obat lagi. Berjuang terus, berobat TB lagi, sampai akhirnya saya sembuh dari TB RO pada Maret 2013. Meskipun penyakit ini bisa disembuhkan tapi perjalanannya itu sangat melelahkan dan sangat tidak enak,” kenang Ully.
Selain soal informasi yang terbatas, Ully juga menekankan ketimpangan sosial yang membuat perbedaan antara pasien TB perempuan dan laki-laki.
“Perempuan punya tantangan lebih besar. Ada kasus yang dia semangat minum obat, dia mau sembuh meski kondisinya tidak berdaya, sudah di kursi roda gitu. Tapi, karena suaminya bilang tidak, dia berhenti minum obat. Karena kan minum obat itu efek sampingnya juga berat. Karena minum obat ia tidak bisa menjaga anak, masak, melayani suami, dan segala macam. Belum lagi yang mendapat stigma dari keluarga suami, disebut tidak bisa mengurus anak dengan baik, dan lain-lain,” ungkapnya.
Nurul Nur Azizah, ketua Divisi Gender, Anak, dan Kelompok Marjinal AJI Jakarta menambahkan, belenggu-belenggu gender membuat perempuan berpotensi tidak meneruskan pengobatan sampai betul-betul sembuh.
“Perempuan terkondisikan secara lingkungan dan sosial sehingga posisinya membuatnya lebih riskan. Sayangnya, media belum banyak mengeksplorasi bagaimana perempuan dengan kerentanan tersendiri harus berjuang dengan pengobatan TB. Masih banyak yang bisa digali,” imbuhnya.
Siti Nadia Tarmizi, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan mengamini pernyataan Nurul.
“Sebenarnya penderita TB itu mengalami beberapa hal. Misalnya, buruh yg TB, itu masih ada perusahaan yang mem-PHK buruh tersebut. Belum lagi, penderita TB itu butuh waktu cuti selama 2 minggu untuk dia mengakses pengobatan secara baik. Tapi, perusahaan tidak mau memberi itu. Padahal, setelah 2 minggu kan dia bisa bekerja kembali. Isu seperti ini juga menarik diangkat,” ucapnya.
Jurnalis yang meliput isu tuberkulosis dengan perspektif HAM dan kesetaraan gender akan memberi afirmasi terkait pemenuhan hak kesehatan para pengidap tuberkulosis khususnya bagi perempuan, anak-anak, dan kelompok rentan. Perspektif HAM dan kesetaraan gender yang utuh akan memandu cara berpikir jurnalis dalam menghasilkan berita yang tidak stigmatisasi dan mendiskriminasi pengidap tuberkulosis.
Untuk itulah, AJI Jakarta bersama POP TB mendorong para jurnalis berkarya dengan membuka kesempatan fellowship bertema “ TB dalam Perspektif HAM dan Kesetaraan Gender”. Fellowship berupa beasiswa peliputan yang diberikan pada 10 orang jurnalis terpilih yang telah mengirimkan proposal karyanya. Kriteria yang dipakai oleh tim penilai adalah (1) tema, (2) ketajaman angle, (3) kedalaman usulan liputan, (4) dampak bagi publik, (5) keterwakilan daerah, (6) keseimbangan gender, dan (7) kemampuan jurnalistik peserta.
Narahubung:
AJI Jakarta 081935007007 (whatsapp)