Jakarta, 11 September 2021-Sembilan dari 10 masyarakat Indonesia khawatir akan dampak perubahan iklim dan merasa harus berbuat sesuatu.
Temuan ini terungkap dalam hasil survei terbaru yang dilakukan oleh Purpose, sebuah lembaga yang mengadvokasi perubahan sosial, pada awal 2021 di belasan kota di Indonesia.
“Masyarakat saat ini sudah bisa memahami bahwa alam sudah berubah. Perubahan iklim membuat cuaca menjadi lebih ekstrim dan intens, sehingga yang menjadi pekerjaan rumah berikutnya adalah meningkatkan kewaspadaan dan resiliensi mereka dalam menghadapi krisis iklim,” ujar Medrilzam dalam acara bincang virtual bertajuk “Krisis Iklim di Mata Publik” yang diselenggarakan AJI Jakarta bersama Purpose pada Jumat (10/9/2021).
Direktur Lingkungan Hidup Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) ini juga menambahkan, sejauh ini Bappenas terus berupaya menjangkau ke tingkat provinsi hingga kabupaten/kota, untuk meningkatkan kesadaran dan ketahanan iklim warga.
Survei ini memberikan optimisme di tengah kondisi banyaknya peristiwa bencana akibat krisis iklim yang terjadi di berbagai daerah, pun setelah keluarnya laporan IPCC beberapa bulan yang lalu.
Intan Suci Nurhati mengapresiasi temuan survei ini. Ia menekankan pentingnya peranan dari semua pihak baik dari pemerintah, akademisi, pihak swasta, dan masyarakat, untuk mengatasi krisis iklim. Menurut Intan, peneliti juga punya peranan signifikan dalam menangani dampak krisis iklim yang akan memperburuk kualitas hidup masyarakat.
“Salah satu tugas besar akademisi adalah menjelaskan perubahan iklim secara riil, alih-alih abstrak, sehingga masyarakat bisa memahami dan melakukan sesuatu,” ucapnya.
Meski demikian, Intan mengatakan bahwa ada tantangan tersendiri dalam menjelaskan isu iklim di negara berkembang, tidak hanya Indonesia, yang biasanya hanya membahas seputar ozon. “Masyarakat sebenarnya sudah paham dengan isu perubahan iklim, tetapi yang masih kurang adalah apa yang penting dan bisa mereka lakukan segera,” jelasnya.
Temuan lain dari survei Purpose memaparkan bahwa terkait isu krisis iklim, masyarakat Indonesia sangat percaya pada perkataan pemuka agama.
Roy Murtadho, cendekiawan Muslim dan pendiri pesantren Ekologi Misykat al-Anwar, mengatakan bahwa hal tersebut wajar karena secara sosiologis dan antropologis, masyarakat Indonesia memang dekat dengan tradisi keagamaan.
“Wajar saja kalau lebih dengar pemuka agama,” kata pria yang juga akrab disapa Gus Roy ini.
Ini menunjukkan, pemuka agama juga bisa mengisi peran sentral dalam mengkampanyekan isu krisis iklim kepada masyarakat dan apa upaya yang bisa dilakukan untuk mengatasinya.
Roy menyebut bahwa sudah cukup banyak pemuka agama yang peduli dengan lingkungan. Sejauh ini, sudah ada praktik-praktik hijau di kalangan pesantren yang belum terlihat oleh publik.
“Sudah banyak yang dilakukan, misalnya transisi energi, dan ini dalam praktiknya adalah pendampingan mengolah sampah di pesantren-pesantren, bahkan sudah ada yang mempraktikkan zero waste juga,” lanjutnya, menambahkan bahwa agama dan sains bisa berkolaborasi untuk mengkomunikasikan dampak-dampak krisis iklim.
Sementara, dari tingkat komunitas, sudah cukup banyak inisiatif-inisiatif baik yang dilakukan bersama warga. Hal ini terungkap dari pengalaman Mustika Wijaya, salah satu pendiri dan direktur Solar Chapter, yang membangun pompa air tenaga matahari di ujung timur Indonesia. Ia menyampaikan bahwa dengan memberikan akses air kepada masyarakat, mereka pun bisa meningkatkan kualitas kesehatan dan pendidikannya.
Selain Mustika, ada juga Dicky Senda dari Lakoat Kujawas, sebuah komunitas kewirausahaan sosial anak muda di Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, yang bergerak di bidang seni budaya. Ia menekankan bahwa tindakan dan aksi adaptasi terhadap lingkungan sebenarnya sudah terjadi dan dijalankan masyarakat adat dahulu kala. Bahkan, masyarakat adat sendiri sudah memiliki pengetahuan lokal tentang lingkungan yang sangat kuat dan terkait dengan konsep sains. Namun, pengetahuan tersebut terputus pada masa sekarang sehingga kearifan lokal dalam beradaptasi terhadap perubahan iklim itu tidak lagi terjadi.
“Itu sebabnya kami di komunitas sedang bergiat melakukan kerja-kerja kebudayaan dengan menghimpun pengetahuan-pengetahuan lokal yang sempat terputus dan menyambungnya kembali dengan masyarakat agar bisa menggunakan pengetahuan tersebut sebagai panduan hidup,” tukasnya.
***
Narahubung:
AJI JAKARTA
(+62819-3500-7007)
Kompetisi Jurnalistik
“Krisis Iklim di Mata Publik: Mendorong Aksi Nyata Perubahan Iklim melalui Media Bercerita (storytelling)”
Untuk mendapatkan perhatian media massa agar bisa mendorong masyarakat untuk bergerak bersama mengatasi dampak perubahan iklim, AJI Jakarta bekerja sama dengan Purpose akan menggelar kompetisi untuk media cetak/website, video jurnalistik, dan podcast:
Tema: “Aksi Nyata Mendorong Dampak Perubahan Iklim” dengan survei Purpose sebagai acuan.
Untuk pemilihan ide liputan, silakan mengacu kepada hasil survei Purpose yang bisa diakses melalui laman https://s.id/PurposeClimateLabSurvey.
Kompetisi berlangsung selama 1 (satu) bulan dan akan berakhir pada Senin, 25 Oktober 2021 (Pukul 17:00 WIB). Hanya akan dipilih 1 (satu) pemenang dari setiap kategori.
Untuk kategori video jurnalistik, pemenang akan mendapatkan hadiah sebesar Rp8.000.000,00 (delapan juta rupiah).
Untuk kategori teks/tulisan, pemenang akan mendapatkan hadiah sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Untuk kategori podcast, pemenang akan mendapatkan hadiah sebesar Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
Bagi yang berminat atau butuh informasi lanjut, bisa menghubungi AJI JAKARTA (+62819-3500-7007)