Siaran Pers
Untuk Segera Disiarkan
Jakarta-Laman Project Multatuli yang memberitakan karya jurnalistik berjudul ‘Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor ke Polisi. Polisi Menghentikan Penyelidikan.’ mengalami serangan Distributed Denial of Service (DDoS) yang menyebabkannya sempat tidak bisa diakses. Akun media sosial Instagram yang mengunggah poster laporan itu juga sempat menghilang akibat terkena laporan.
Seiring itu, media pun santer memberitakan peristiwa itu. Baik yang menyertakan konteks dari pemberitaan Project Multatuli atau pun yang sebatas memberitakan narasi dari kepolisian.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta menemukan beberapa pemberitaan media yang masih belum berperspektif korban, utamanya anak korban kekerasan seksual (KS). Di antaranya, menyebutkan identitas nama asli juga inisial dari anak korban KS beserta umur terangnya, dan penyebutan identitas yang bisa mengancam perlindungan identitas anak seperti nama sapaan dan inisial dari ibu korban dan terduga pelaku (ayah korban) dalam pemberitaan.
Tidak hanya itu, media juga melakukan tangkapan layar (screenshot) atas story IG Humas Polres Luwu Timur dan menjadikannya gambar utama, tanpa melakukan penyensoran beberapa hal sensitif seperti identitas inisial ibu korban dan terduga pelaku.
“Media perlu hati-hati, jangan sampai asal pasang gambar (SC) tapi mengabaikan hak anak korban KS atas perlindungan identitas pribadinya atau yang menyangkut dirinya. Jurnalis mesti teliti dan mematuhi Kode Etik Jurnalistik (KEJ) serta etika pedoman pemberitaan anak,” ujar Nurul Nur Azizah, Ketua Divisi Gender, Anak, dan Kelompok Marginal AJI Jakarta melalui siaran resmi, Jumat (8/10/2021).
Kode Etik Jurnalistik Pasal 5 menegaskan, “Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan. Di internal AJI, aturan ini juga ada dalam Kode Etik AJI (pasal 10, 17, 18). Asas perlindungan terhadap anak di bawah umur yang menjadi korban tindak pidana harus sangat diperhatikan.
Jurnalis bisa mengakses Pedoman Peliputan dan Pemberitaan Anak yang memperhatikan hak-hak mereka dalam pemberitaan KS. Selengkapnya bisa diakses di laman https://aji.or.id/upload/article_doc/PedomanPeliputandanPemberitaanAnak_10x15cm_NoNote.pdf.
Nurul juga mengingatkan agar media tidak hanya mengejar klik dan viral dalam memberitakan korban kekerasan seksual anak ini. Juga tidak menggunakan kata-kata bombastis yang justru bisa mengikis empati dan perlindungan bagi korban anak kekerasan seksual.
“Media harus ingat fungsinya untuk mengedukasi publik. Sampaikan pemberitaan yang berperspektif korban: melindungi haknya dan berempati. Ketika memberitakan, sertakan konteks kasusnya secara utuh jika mau memberitakan tanggapan atau sanggahan dari kepolisian. Jadi, potensi penghakiman pada korban (termasuk judul clickbait) tidak sampai terjadi,” kata Nurul.
Ia juga mengimbau, jika publik masih menemukan pemberitaan yang melanggar KEJ dan Pedoman Pemberitaan, untuk melaporkan pemberitaan tersebut ke Dewan Pers. Caranya, masuk ke situs web dewanpers.or.id, klik laman data pengaduan, unduh formulirnya: https://dewanpers.or.id/datapengaduan/form lalu kirim formulir pengaduan yang sudah diisi melalui surel ke alamat pengaduan@dewanpers.or.id.
Sementara, terkait tuduhan hoaks atas laporan jurnalistik dalam pemberitaan media yakni Project Multatuli, AJI Jakarta memperingatkan, hal itu sama dengan menghalang-halangi kerja jurnalistik. Jelas itu tindak pidana yang melanggar Pasal 18 ayat (1) UU Pers bahwa “Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat 92) dan ayat 93) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah).
*Narahubung:*
Nurul Nur Azizah
Ketua Divisi Gender, Anak, dan Kelompok Marginal
AJI Jakarta
(0819 3500 7007)