Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta membuat diskusi yang mengangkat sejumlah isu hangat, yakni industri media massa di era digital. Acara berlangsung di Ev Hive, Pelaza Kuningan Menara Selatan, Jalan H. R. Rasuna Said, Jakarta Selatan, Senin (28/5/2018).
Dua jurnalis senior dari media daring nasional hadir untuk membagikan sejumlah pengalaman dalam menjawab tantangan sekaligus peluang ekplorasi produk jurnalistik di era digital. Keduanya adalah Pemimpin Redaksi magdalene.co Devi Asmarani dan editor at Large Tirto.id Zen R. S.
Diskusi yang dipandu oleh Editor Senior dari Detik.com Erwin Dariyanto ini masih dalam suasana peringatan World Press Freedom Day tahun ke-25 yang jatuh pada 3 Mei. Ada dua topik utama yang dibahas. Pertama adalah “Menjadi Jurnalis Sensitif: Ramah Gender Bukan Baper” oleh Devi dan kedua “Mengemas Data Jadi Cerita” oleh Zen.
Kedua pembicara tersebut memaparkan bagaimana jurnalis mengeksplorasi ruang kreatif media digital yang tak berbatas untuk menghasilkan produk jurnalistik yang akurat dan catchy, tanpa harus menerjang kode etik jurnalistik.
Ketua AJI Jakarta Asnil Bambani menerangkan, kedua topik ini sengaja dipilih untuk mewakili isu mendasar terkait tantangan pemberitaan di era digital yang kerap terjebak dalam kontestasi “menjadi yang pertama” dan mengejar jumlah “klik”.
Untuk memenangi perhatian masyarakat, sejumlah media kemudian berlomba-lomba mempublikasikan pemberitaan yang tidak hanya kontroversial dalam hal isi, tapi juga sensasional dalam pemilihan tajuk. Sehingga media tersebut akan melahirkan pemberitaan-pemberitaan yang bias, tidak sensitif gender, dan bahkan melanggar kode etik jurnalistik.
“Melalui diskusi ini kami ingin mengajak para jurnalis untuk menjaga akurasi pemberitaan melalui penyajian data-data terverifikasi,” ungkap Asnil.
“Kami juga mendorong redaksi media untuk memberikan ruang pemberitaan yang adil kepada perempuan dan lebih sensitif gender,” Asnil menambahkan.
Acara yang dimulai menjelai buka puasa ini berlangsung seru. Dalam pemaparannya, Devi mengkritisi media yang masih menggunakan pilihan kata tak ramah gender dalam pemberitaan mereka.
Kata “baper” (terbawa perasaan/sensitif) dalam judul topik yang dibawakannya merujuk pada korban pelecehan atau kekerasan seksual yang selama ini memilih bungkam karena takut dianggap terlalu mengada-ada, atau berlebihan dalam menyikapi perlakuan yang diterimanya.
“Masih banyak media yang menyebut korban perkosaan sebagai ‘ternoda’. Pilihan kata ini menimbulkan konotasi negatif, bahwa perempuan yang diperkosa sudah kotor atau tidak suci,” kata Devi.
Devi kemudian mencontohkan. Menurutnya, konotasi negatif dari kata “ternoda” ini menginternalisasi pikiran bawah sadar korban, dan menjadi sebuah stigma. Alhasil, korban enggan melapor karena takut dicap kotor, atau merasa bahwa dirinya sudah tidak layak lagi.
Sedangkan Zen bercerita tentang perjalanan Tirto.id dalam menyajikan produk jurnalistik yang kompetitif di tengah perebutan jumlah “klik”.
Tirto.id, kata Zen, mengandalkan kreativitas dalam mengemas data pada berita feature yang bertutur. Ia menyebut hal ini berhasil merebut pembaca lewat tulisan-tulisan panjangnya.
“Kami merekrut penulis, bukan sekadar reporter biasa. Sejak awal kami sudah punya tim riset yang bertugas mengumpulkan data dan fakta akurat sebagai landasan penulisan-penulisan
kami. Sebagian dari data-data itu kemudian kami kemas ke dalam bentuk infografis. Keberadaan infografis ini menjadi penting di era digital yang sangat visual,” jelas Zen.
Lebih jauh Zen mengatakan, yang dilakukan Tirto.id menjadi bukti, kalau pembaca saat ini tidak hanya mencari berita cepat dan pendek, tapi juga produk jurnalistik berbasis data yang disajikan secara mendalam.
Sajian infografik yang menarik dan menggelitik ini mampu mendorong pembaca untuk membagikannya di media sosial mereka, sehingga viral.
Dalam kesempatan yang sama, Ceo Ev Hive Carlson Lau menyampaiakan kegembiraannya bisa menjadi tuan rumah di acara diskusi yang digelar dalam momen buka bersama di bulan Ramadan ini. Ia berharap bahwa co-working space bisa menjadi solusi pekerja media.
Contohnya, kata Carlson, dalam penyediaan atmosfer kerja kreatif yang dilengkapi sarana teknologi terkini, seperti ruang video conference, dan sambungan internet berkecepatan tinggi yang bisa meningkatkan produktivitas kerja para jurnalis.
“Saya sangat bangga bisa berkerja sama dengan AJI Jakarta. Semoga ke depan kita bisa berkolaborasi lagi,” ujar Calson.
Carlson menyampaikan, dalam waktu dekat akan ada cabang baru Ev Hive di sejumlah kota besar di Indonesia. Diantaranya di Yogyakarta, Makassar, dan Bandung. Untuk di Jakarta sendiri saat ini Ev Hive tersebar di 24 lokasi, dengan satu cabang di kota Medan, Sumatera Utara.