Irvan Sihombing, salah satu peserta pelatihan Pemilu dan HAM yang diselenggarakan oleh AJI Jakarta, menulis opini yang dimuat di Media Indonesia pada 22 Maret 2019.
Pemilu dan HAM
Penulis: Irvan Sihombing, Wartawan Media Indonesia.
Di pagi yang dingin, ketika hampir semua orang memilih berlibur ataupun beristirahat, saya dan sejumlah rekan wartawan begitu asyik mengikuti pelatihan pemilu dan HAM pada awal Maret lalu.
Komisioner Komnas HAM Choirul Anam yang tampil sebagai pemateri berupaya mendekonstruksi konsep dan pemikiran kami mengenai hak asasi manusia. Awalnya, dia meminta para peserta untuk menulis di secarik kertas tentang definisi HAM. Setelah itu, ia menginstruksikan agar semua jawaban ditempel di papan tulis dekat meja pembicara.
Lalu Choirul mengajukan pertanyaan, “Siapa yang bertanggung jawab atas HAM?” Kali ini dia tidak meminta kami menuliskan jawaban tetapi langsung mengungkapkan pendapat secara lisan.
Jawaban yang terlontar pun beragam. Mereka yang mendefinisikan HAM adalah hak yang dibawa sejak dalam kandungan akan menyebut semua orang bertanggung jawab atas HAM. Dan masih banyak variasi jawaban yang terlontar, biasanya berpijak atas pendefinisian apa itu HAM.
Seolah belum puas menghadirkan badai di otak peserta kegiatan pelatihan, Choirul mencecar kami dengan dua pertanyaan berturut-turut.
“Jika ada orang belum punya pekerjaan alias masih menganggur, apakah menjadi tanggung jawab Anda untuk menyediakan pekerjaan? Pertanyaan berikutnya, jika ada prajurit yang gugur saat bertugas, apakah itu pelanggaran HAM?”
Ketika masih merenungi definisi HAM, kami sudah disuguhi pertanyaan yang agak rumit tersebut di atas. Lagi-lagi semua orang melontarkan pernyataan berbeda atas dua pertanyaan terakhir Choirul Anam.
Saat seisi ruangan bergairah dalam berargumen, ia lalu menjawab ‘tidak’ atas dua pertanyaan terakhirnya. Tidak, karena bukan tanggung jawab warga negara untuk menyediakan pekerjaan buat warga negara lain. Tidak, karena prajurit yang gugur tersebut merupakan perpanjangtanganan negara dalam rangka penegakkan hukum dan HAM. Jawaban ‘tidak’ ia sampaikan karena menurut dia berdasarkan undang-undang, negara yang bertanggung jawab atas HAM.
Terbuka ruang untuk berbeda pendapat, untuk tidak setuju, ataupun men-challenge pendapat dia. Namun, kami semua sepertinya terlalu ‘lapar’ dan menginginkan asupan lebih mengenai HAM. Topik yang berat tapi menarik. Sayang kurang banyak media yang memberi tempat atau porsi lebih terkait HAM agar khalayak paham dengan isu tersebut.
Karena tidak ada perdebatan mengenai negara dan HAM, Choirul pun bertanya. “Jika negara yang bertanggung jawab atas HAM, lalu di mana peran kita sebagai warga negara?”
Semua orang di ruangan, kecuali Choirul, terlihat berpikir keras. “Sebatas menghormati,” ujarnya memecah keheningan.
Saya terusik untuk bertanya, “Sejauh mana penghormatan diberikan?” Ia menjawab secara panjang lebar berikut dengan contoh-contohnya.
Dari uraiannya itu, saya lalu berkesimpulan tidak ada batasan rigid terkait penghormatan. Pemberian batasan yang terlalu kaku mungkin malah membuka pintu bagi terciptanya pelanggaran HAM. Intinya, yang saya tangkap, batasan penghormatan tersebut berkelindan dengan hak kita sendiri.
Misalnya, ada orang yang tidak senang dengan tetangganya karena berbeda dari sisi suku, agama, dan ras. Namun, orang ini tidak bisa seenaknya mengganggu dan mengintimidasi si tetangga apalagi sampai mengusir. Di sinilah batasan penghormatan tersebut mewujud.
Konsep-konsep dasar mengenai HAM telah dijejali ke pikiran kami, fase selanjutnya ialah membahas mengenai Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights).
Berpijak dari DUHAM dan ICCPR, barulah kami menukik ke pemilu. Pemilu pada hakekatnya adalah sarana kedaulatan rakyat. Syarat minimal bagi sebuah negara yang disebut negara demokratis ialah terselenggaranya pemilu. Pemilu menjadi instrumen transisi dan rotasi kekuasaan, serta sarana untuk mendorong akuntabilitas dan kontrol publik terhadap negara.
Mengutip Haywood (1992), ada dua fungsi pemilu yakni bottom-updari masyarakat terhadap negara, dan top-down dari negara terhadap masyarakat.
Karena begitu pentingnya pemilu, maka negara selaku pemilik otoritas atas HAM harus betul-betul menghadirkan pemilu yang tidak melanggar HAM. Apakah persoalan hak pilih terkait daftar pemilih tambahan (DPTb) bisa diselesaikan sebelum 17 April 2019? Apakah para penyandang disabilitas yang jumlahnya sekitar 1,2 juta bisa menunaikan hak pilih mereka tanpa suatu hambatan saat pencoblosan tiba? Bagaimana pula dengan hak para pengungsi seperti warga Syiah yang sempat terusir dari rumah mereka, sudahkan terjamin hak-hak mereka?
Inilah pertanyaan besar yang harus bisa diselesaikan oleh negara terkait pemilu dan HAM.