Jakarta, 24 Februari 2020-Pemberitaan tentang transpuan atau kelompok minoritas gender dan seksualitas banyak yang tidak berfokus pada kejadian atau substansi kasus yang dialami, tetapi lebih menonjolkan sisi identitas dan pilihan seksualnya.
Seperti yang baru-baru ini terjadi pada artis LL yang tertangkap karena dugaan penggunaan narkoba. Seharusnya berita menuliskan secara fokus tentang kejadian, tetapi justru mengorek identitas seksualnya, seperti: mempertanyakan jenis kelaminnya, pilihan seksualnya, menulis soal pasangannya, jenis kelamin pasangannya.
Dalam diskusi berjudul “Ruang Transpuan dalam Politik dan Media” yang diadakan kelompok lintas gender seperti Suara Kita, Warna Sehati Depok, Arus Pelangi, Swara, LBH Masyarakat, LBH APIK, AJI Jakarta dan AJI Indonesia pada Sabtu (22/02/2020), Marina Nasution dari AJI Jakarta memaparkan bahwa dalam memberitakan kelompok transpuan, media cenderung menjadikan identitas pilihan seksual dan ekspresi gender mereka hanya sekadar komoditas.
Ia menyebutkan bahwa persoalan ini terlihat dalam judul, konten dan gambar yang seksis.
Sejumlah berita lain yang memberitakan tentang LGBT juga memberikan kesimpulan yang salah, misalnya data LGBT penyebar HIV/AIDS. Ini tak hanya melakukan pembodohan publik, tapi juga melakukan sensasionalisme.
Sensasionalisme dan seksisme pada tulisan mengenai transpuan dan LGBT ini merupakan masalah pelik. Salah satunya, keharusan untuk memenuhi jumlah target berita yang sangat banyak setiap hari sehingga jam kerja jurnalis menjadi sangat panjang. Padahal, untuk memahami satu isu, dibutuhkan waktu yang cukup untuk menelaah substansinya.
“Konten yang bagus itu harus, tidak bisa dikompromikan lagi. Namun, untuk memahami mengapa konten yang bagus ini kerap tidak terjadi, atau tidak dilakukan pekerja media, kita perlu tahu apa yang terjadi pada mereka. Persoalan reporter dan redaktur dengan jam kerja dan target tinggi, redaksi media yang belum punya sensitivitas gender, gaji jurnalis yang rendah adalah persoalan media kita. Ini salah satu penyebab seorang jurnalis tak memahami masalah, memojokkan dan tak fokus pada pemberitaan,” kata Marina Nasution.
Anggota Dewan Pers, Arif Zulkifli sepakat bahwa konten berita tentang LL dan LGBT umumnya menyudutkan. Padahal, jurnalis seharusnya jurnalis menuliskan fakta sesuai substansi permasalahan yang terjadi.
Ia menyatakan, jika masyarakat merasa keberatan dengan isi pemberitaan transpuan atau kelompok minoritas gender dan seksualitas lainnya, maka masyarakat atau pun organisasi masyarakat sipil bisa mengadukan hal tersebut ke Dewan Pers.
“Jika ada pengaduan, maka Dewan Pers akan memanggil, memediasi, menyelesaikan sengketa pers ini. Masalah-masalah yang diadukan ini akan menjadi basis data kita, sehingga bukan tidak mungkin Dewan Pers akan mengeluarkan sebuah buku panduan meliput kelompok minoritas gender dan seksualitas ini agar jurnalis tidak memojokkan.”
Ia menambahkan selama ini sering terjadi salah persepsi, bahwa jika LL atau publik figur lain sedang bermasalah, maka terkesan media boleh menuliskan apa saja.
“Padahal, apakah media boleh menuliskan apa saja? Jurnalis seharusnya melakukan liputan ke lapangan, wawancara, bertanya apakah mereka keberatan dan harus mencari narasumber yang tepat dan relevan dengan kasus yang terjadi,” ujar Arif.
Audi Manaf, seorang transpuan dari Warna Sehati Depok meminta kepada jurnalis untuk berpikir ulang ketika memberitakan transpuan atau kelompok minoritas gender dan seksualitas dan memikirkan dampak yang terjadi setelah penulisan di media.
Selama ini, banyak transpuan seperti dirinya sulit mendapat pengakuan dari masyarakat, banyak dicemooh dan dipertanyakan identitasnya. Jika media menuliskannya secara menyudutkan dan sensasional, maka dampaknya akan langsung mereka alami.
“Sudah sering kami di-bully, dianggap punya identitas yang tak jelas. Jika ada pemberitaan media yang menyudutkan, maka akan lebih banyak perundungan yang terjadi pada kami. Kami seperti mendapatkan imbasnya, mendapatkan diskriminasi yang berlebihan,” kata Audi Manaf.
Andy Yentriyani, komisioner Komnas Perempuan menyatakan bahwa situasi ini tak mudah bagi transpuan. Selama ini ada 421 Peraturan Daerah (Perda) yang mendiskriminasi perempuan, termasuk transpuan. Jadi, jika ada kasus sedikit saja yang menimpa transpuan, maka semua akan terkena imbasnya.
Ia juga mengatakan bahwa media seharusnya fokus menuliskan fakta, jika tidak, maka berita yang memojokkan akan berakibat pada transpuan, perempuan.
“Kasus yang terjadi ini menjadi titik penting bagaimana selama ini konstruksi sosial yang terbangun. Sudah saatnya kita semua beranjak dan melakukan sesuatu, tak boleh ada diskriminasi terhadap transpuan dan siapa pun,” tutup Andy.
Narahubung:
AJI Jakarta
https://wa.me/6281935007007