Rilis Pers
Pandemi Covid-19 yang terjadi di Indonesia saat ini mengubah perilaku jurnalis dalam melaksanakan tugas jurnalistik. Mereka dihadapkan dengan beragam risiko, mulai dari risiko kesehatan, risiko pemutusan hubungan kerja (PHK) maupun risiko ketiadaan dana dalam membiayai liputannya.
AJI Jakarta memandang kondisi ini tidak menguntungkan jurnalis. Selain rentan terkena serangan Covid-19, jurnalis di Indonesia kini juga mendapatkan ancaman ‘kekerasan di ranah digital’ dari sekelompok orang yang tidak suka hasil karya mereka.
Kelompok orang yang tidak senang dengan karya jurnalistik melakukan perlawanan di media sosial. Mereka mendelegitimasi karya jurnalistik sebagai hoaks. “Tak hanya ‘kekerasan di ranah digital’ dan sentimen, jurnalis di Indonesia juga mulai mendapat serangan yang bersifat struktural,” ungkap Ketua AJI Jakarta, Asnil Bambani, dalam diskusi webinar bertajuk “Memperkuat Legitimasi Jurnalis Saat Pandemi” pada Jumat, 26 Juni 2020.
Diskusi ini terselenggara atas kerja sama antara AJI Jakarta dan Remotivi yang didukung oleh Purpose, lembaga komunikasi yang fokus pada isu-isu sosial. Selain Asnil, Peneliti Remotivi Roy Thaniago dan Peneliti Cek Fakta Tempo Ika Ningtyas juga menjadi pengisi diskusi secara daring (online) ini. Bertindak selaku moderator adalah Fanni Imaniar, News Anchor CNN Indonesia TV.
Berdasarkan data AJI Jakarta, kekerasan di ranah digital mulai terjadi pada sejumlah jurnalis di Jakarta sejak 2018. Kekerasan semacan ini awalnya menimpa jurnalis Detikcom. Ia tak hanya mengalami doxing (penyerangan melalui informasi pribadi di internet), tapi juga mendapatkan ancaman pembunuhan.
“Kasus ini sudah diproses oleh Komite Keselamatan Jurnalis, di mana Dewan Pers dan sejumlah organisasi jurnalis ada di dalamnya, namun pelaku pengancaman tak diketahui hingga kini,” beber Asnil.
Kekerasan digital terhadap jurnalis mulai bergeser pada 2019, melalui teror psikologis yang membuat jurnalis tak bisa menjalankan tugasnya sebagai penyampai berita. Hal ini dialami oleh salah seorang wartawan Aljazeera saat meliput di Papua. Ini adalah persoalan serius, wartawan menjadi tak berani beraktivitas karena dibayang-bayangi ancaman.
“Doxing terhadap jurnalis ini dilakukan secara sistemik dan sistematis. Dilakukan oleh sebuah kelompok yang terorganisir, bukan oleh individu,” tegas Asnil.
Kasus terbaru menimpa wartawan Detikcom, yang diserang setelah menulis berita soal Presiden Jokowi yang akan membuka mal di Bekasi. Wartawan Detikcom mendapatkan ancaman pembunuhan. Sebelumnya, ia bahkan diteror dengan sejumlah makanan yang dikirimkan ke rumahnya melalui aplikasi ojek daring.
Asnil meminta pihak-pihak yang merasa ‘terganggu’ atau tidak puas dengan pemberitaan media, agar menempuh jalur-jalur yang telah diatur sesuai dengan Undang-Undang Pers. Misalnya, melalui hak jawab, somasi atau mediasi di Dewan Pers.
Melawan hoaks
Peneliti Cek Fakta Tempo Ika Ningtyas mengungkapkan, sejak 2018 fenomena hoaks mulai marak di Indonesia. Hal ini, menurutnya, disebabkan oleh tingginya penetrasi internet yang tidak diimbangi dengan literasi yang memadai. “Cek Fakta muncul untuk memperkuat ruang redaksi agar mampu membedakan mana yang berita dan mana yang hoaks,” kata Ika.
Merebaknya fenomena hoaks ini disumbang oleh kegagapan jurnalis menghadapi tsunami informasi yang beredar liar di media sosial. Di sisi lain, kata Ika, jurnalis belum memiliki keterampilan yang mumpuni untuk memverifikasi informasi tersebut. “Cek Fakta membantu publik untuk mendapatkan informasi yang akurat terkait informasi yang viral di media sosial.”
Pada 2018-2019, hoaks yang banyak beredar di Indonesia adalah yang terkait dengan konten politik, sisanya isu kesehatan dan lain-lain. Namun sejak merebaknya pandemi Corona pada 2020, fenomena hoaks mulai terbagi. Isu kesehatan menjadi nomor satu, sisanya terkait isu yang lain.
Sejak awal Januari hingga Juni 2020, Cek Fakta Tempo berhasil memverifikasi sekitar 200 hoaks terkait Covid-19. “Kami akui jumlah ini sangat kecil dibandingkan jumlah hoaks yang beredar,” ungkap Ika.
Ika menegaskan, kehadiran Cek Fakta di media sangat relevan dan dibutuhkan untuk membendung tsunami informasi yang beredar di media sosial. “Cek Fakta juga dibutuhkan untuk memverifikasi pernyataan dari otoritas yang tidak kredibel.”
Konflik informasi
Peneliti Remotivi Roy Thaniago mengungkapkan, yang terjadi kini adalah konflik informasi. Roy mencontohkan yang mendominasi saat ini adalah informasi tentang Covid-19. Permasalahannya adalah informasi tentang Covid-19 ini sulit dipahami orang banyak, karena informasi dikuasai oleh otoritas atau negara.
Negara memiliki rumah sakit dan infrastruktur informasi untuk saling berkirim pesan. Masalahnya adalah negara menutup-nutupi informasi tersebut. Di sinilah pentingnya peran media, untuk menyediakan apa yang tidak disediakan oleh negara. “Media berperan sebagai business of access. Media mampu mengakses sesuatu yang sehari-hari tidak bisa diakses oleh masyarakat,” jelas Roy.
Hal lain yang muncul adalah sentimen antimedia yang mulai masif, terutama dari kubu propemerintah. “Mereka melakukan apa saja untuk mendelegitimasi media. Bahkan hal ini dilakukan oleh akademisi di bidang komunikasi. Mereka sering membuat diksi-diksi yang bermasalah,” kata Roy.
Kasus doxing wartawan Detikcom yang menulis soal pembukaan mal di Bekasi, menurut Roy, adalah satu contoh bagaimana kelompok antimedia mendeligitimasi media. “Dengan begitu, mereka ingin informasi didominasi oleh negara. Padahal, cara-cara ini merusak demokrasi”.
Menurut Roy, kondisi ini diperburuk oleh para pendengung (buzzer) yang propemerintah. Roy menambahkan, daripada memperkuat para pendengung, lebih baik pemerintah memperkuat jurnalisme untuk menjamin demokrasi yang sehat.
Oleh sebab itu, Roy menegaskan, saat ini yang diperlukan adalah mengembalikan kepercayaan publik pada jurnalisme. Ketika kepercayaan pada jurnalisme memudar, maka kepercayaan publik akan runtuh.
“Hari ini belum ada pengganti yang lebih baik dari jurnalisme,” tegas Roy.
Jakarta, 27 Juni 2020
Hotline
AJI Jakarta
https://wa.me/6281935007007