Siaran Pers
Perokok anak di Indonesia terus mengalami peningkatan. Hal tersebut tertuang dalam Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan. Pada 2013 prevalensi perokok anak berkisar 7,1 persen. Selama kurun waktu lima tahun, angkanya meningkat menjadi 9,1 persen. Ketua Yayasan Lentera Anak, Lisda Sundari khawatir kondisi tersebut memperburuk kondisi anak.
“Anak-anak masih menjangkau rokok apalagi dengan harga batangan,” kata Lisda Sundari dalam diskusi “Membendung Jumlah Perokok Anak Lewat Kenaikan Cukai” yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta bekerja sama dengan Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia melalui zoom pada Senin, 31 Agustus 2020.
Dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, pemerintah berupaya menurunkan perokok anak usia 10-18 tahun menjadi 5,7 persen. Kata Lisda hal tersebut muskil dilakukan ketika pemerintah tidak mempunyai tindakan serius. “Kalau mau serius harusnya cukai lebih dari 57 persen. Selain itu, larang promosi iklan dan rokok batangan,” ujarnya.
Temuan Lentera Anak sejalan dengan hasil riset Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) tentang tingkat prevalensi merokok pada anak di Indonesia spesifik pada efek harga dan efek teman sebaya pada 2020. Hasilnya dua komponen itu memberi peluang anak untuk merokok.
Teguh Dartanto, Kepala Tim Riset PKJS-UI, menyebutkan, semakin mahal harga rokok maka semakin kecil peluang anak merokok dan semakin sedikit konsumsi rokok batangan setiap minggu. “Kenaikan harga rokok adalah kunci pengendalian rokok pada anak-anak,” kata Teguh yang juga Wakil Dekan Bidang Pendidikan, Penelitian dan Kemahasiswaan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia.
Teguh menjelaskan, harga rokok murah berpengaruh besar terhadap perilaku merokok anak usia remaja (SMA) dibandingkan usia SMP & SD. “Harga rokok berhubungan negatif dengan peluang anak merokok dan intensitas konsumsi rokok,” kata Teguh yang khawatir pemerintah maupun pihak sekolah tidak menyadari hal ini.
Untuk itu, Teguh menyarankan adanya larangan iklan rokok di sekitar sekolah, termasuk juga sanksi. Tidak hanya sanksi untuk siswa, tetapi juga penyelenggara pendidikannya.
Adapun Analisis Kebijakan Ahli Madya Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Wawan Juswanto dalam diskusi menjelaskan, kebijakan cukai hasil tembakau dapat dilihat dari tarif cukai dan harga jualan eceran. Tarif cukai tergantung pada jenis rokok, golongan pabrik, dan harga eceran yang ditentukan Menteri Keuangan berdasarkan pasal 5 ayat 1 serta pasal 6 ayat 3 Undang-Undang Nomor 39 tahun 2009 tentang cukai.
Berdasarkan beleid itu, saat ini tarif cukai pada rokok konvensional sebesar 23 persen sementara pada produk Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL) sebesar 57 persen. “Pada tahun 2019 harga rokok menjadi relatif murah karena tidak ada kenaikan tarif cukai,” ujar Wawan.
Wawan juga menyadari adanya dampak buruk pada anak karena rokok. Ke depan, Kementerian Keuangan akan membuat kebijakan lebih tegas dengan tujuan menurunkan tingkat prevalensi merokok anak dalam rangka peningkatan sumber daya manusia dan keberlangsungan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). “Kebijakan cukai akan tetap ditujukan untuk mengendalikan konsumsi barang yang berdampak negatif,” ujar Wawan.
Menurutnya, tantangan yang saat ini dihadapi pemangku kebijakan adalah, kementerian belum memiliki tujuan yang sama dalam mengurus kenaikan cukai rokok. Maka dari itu perlu disusun suatu roadmap yang komprehensif dan melibatkan banyak pihak.
Pengamat ekonomi senior Faisal Basri menilai, selain menaikkan cukai, pemerintah perlu meratifikasi Kerangka Kerja Kebijakan Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control atau FCTC). Menurutnya, ratifikasi ini akan membuat anak membatasi pemakaian produk tembakau. “Indonesia salah satu negara yang belum menandatangani FCTC. Segera ratifikasi supaya tidak main-main lagi,” ujarnya.
Selain itu, ia juga menyoroti kondisi perokok yang mempunyai risiko terserang virus SARS-CoV-2 di masa pandemi, sebab virus ini menyerang saluran pernapasan. Ia meminta pemerintah untuk menyambut momentum tersebut dengan membuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang kenaikan cukai rokok. “Buat saja Perppu, kan sedang darurat karena Covid-19,” ujarnya.
Terkait diskusi soal kesehatan publik ini, Asnil Bambani, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta menilai, jurnalis memiliki peran untuk menyuarakan mereka yang tak bisa bersuara. “Anak dalam hal ini tak bisa bersuara terutama dalam kasus prevalensi merokok, jangan sampai mereka menjadi korban zat adiktif,” kata Asnil.
Narahubung:
AJI Jakarta
(0819-3500-7007)