Siaran Pers
Untuk Segera Disebarkan
Catatan Tahunan Komnas Perempuan (2020) menemukan, ada 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di ranah personal, komunitas/publik, dan negara. Bahkan, dalam kurun waktu 12 tahun terakhir, angka tersebut meningkat delapan kali lipat. Salah satu kekerasan terhadap perempuan yang terjadi yakni kekerasan seksual.
Data dari Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) mengatakan bahwa kekerasan seksual bisa terjadi pada siapa saja, tanpa memandang gender, waktu, dan jenis pakaian dari korban.
Melihat tingginya kasus kekerasan seksual, termasuk di ruang publik, Divisi Gender, Anak, dan Kelompok Marjinal AJI Jakarta memutuskan untuk menginisiasi sebuah Survei Kekerasan Seksual di Kalangan Jurnalis. Penyelenggaraan survei ini didasari oleh belum tersedianya penanganan kekerasan seksual yang komprehensif di internal kami, sehingga survei ini menjadi rujukan pembentukan SOP Penanganan Kekerasan Seksual di internal AJI Jakarta. Selain itu, survei ini menjadi bentuk komitmen kami dalam mendorong iklim kerja yang aman bagi semua jurnalis.
Kami menyelenggarakan survei sejak bulan Agustus 2020 hingga Desember 2020 melalui metode kuesioner yang disebarkan kepada jurnalis di seluruh Indonesia. Hingga data survei ini diolah, ada 34 jurnalis yang terdiri dari 31 perempuan dan 3 laki-laki dari berbagai kota yang mengisi survei kami. Detail survei berisi identitas responden hanya bisa diakses oleh tim survei yang merupakan pengurus Divisi Gender, Anak, dan Kelompok Marjinal AJI Jakarta. Data yang kami sampaikan kepada publik merupakan data umum.
Usia responden dari survei ini mulai dari di bawah 20 tahun hingga di atas 51 tahun, dengan lama waktu menjadi jurnalis dari 0 sampai 3 tahun hingga lebih dari 15 tahun.
Ada berbagai jenis media dari responden kami yakni daring, cetak, televisi, dan radio.
Survei kami memiliki keberagaman responden dalam jabatan struktural di redaksi yakni reporter (21 orang), asisten redaktur (1 orang), editor (5 orang), redaktur utama (1 orang), pemimpin redaksi (3 orang), pemilik media (1 orang), dan freelance (1 orang).
Hasil survei kami menemukan bahwa ada 25 responden yang pernah mengalami kekerasan seksual dengan berbagai latar belakang kejadian kekerasan seksual yakni saat liputan (15 responden), di kantor (8 responden), di luar waktu kerja dan liputan tapi masih berhubungan dengan pekerjaan (15 responden), dan acara pertemuan jurnalis (1 responden). Jawaban yang lebih dari 25 responden ini menunjukkan bahwa satu orang jurnalis bisa mengalami kekerasan seksual yang berhubungan dengan pekerjaannya lebih dari sekali.
Ada bermacam-macam lokasi kekerasan seksual yang mengancam jurnalis yakni kantor pemerintahan, di rumah narasumber, gedung DPR atau DPRD, pelabuhan, kantor, kampus, kantor partai, transportasi publik, ikut GIAT aparat, pers room, hingga kekerasan seksual berbasis siber oleh narasumber.
Kekerasan seksual yang terjadi pada jurnalis tak mengenal waktu karena ada 10 responden mengalami kekerasan seksual di pagi hari (04.00-10.00), 15 responden di siang hari (10.00-15.00), 14 responden di sore hari (15.00-19.00), dan 11 responden di malam hari (19.00-04.00).
Pelaku kekerasan seksual pada jurnalis beragam yakni pejabat publik (13 responden), narasumber non-pejabat publik (8 responden), atasan di kantor (9 responden), teman sekantor (10 responden), sesama jurnalis beda kantor (11 responden), massa aksi (2 responden), aparat (1 responden), dosen (1 responden), lainnya (6 responden).
Bentuk kekerasan seksual yang dialami jurnalis ada bermacam-macam, seperti catcalling, perkosaan, disentuh/dipegang, dikirimi pesan bernuansa seksual (KS berbasis siber), diajak ngobrol bernuansa seksual, menjadi bahan bercandaan bernuansa seksual, gratifikasi benda/barang dengan berharap mau melakukan tindakan seksual/relasi romantis, dikuntit, eksploitasi seksual, dan tatapan ke arah dada.
Sayangnya, ancaman kekerasan seksual bisa terjadi berulang dengan pelaku dan waktu yang beragam, hanya 4 responden yang menjawab bahwa perusahaannya memiliki SOP Penanganan Kekerasan Seksual.
Tanggapan dari kantor tempat bekerja korban pun tak menyenangkan, sebab hanya 1 jurnalis yang melapor kemudian diproses dan diberi pendampingan, sedangkan jurnalis lainnya, 8 korban menjawab direspons tapi tidak dilanjutkan, 3 korban disalahkan, 4 korban diintimidasi pelaku, 2 korban diintimidasi tempat kerja pelaku, 4 korban diintimidasi oleh kantor, 9 korban tidak ditanggapi, 1 korban dianggap tidak lazim.
Ada berbagai alasan yang membuat jurnalis memilih untuk tidak melaporkan kasusnya yakni mali, takut disalahkan, takut tidak dipercaya, tidak punya bukti cukup, tidak punya dukungan, diintimidasi pelaku, tidak ada gunanya, dan dianggap tidak penting.
Melihat buruknya tanggapan dari perusahaan media dan alasan korban tidak melaporkan kasusnya, AJI Jakarta menduga, banyak jurnalis korban kekerasan seksual yang memilih untuk tidak mengisi survei kami karena trauma.
Untuk menangani kekerasan seksual, para responden kami menginginkan perusahaan media memiliki panduan penanganan kekerasan seksual yang komprehensif, termasuk di antaranya memfasilitasi pemulihan trauma yang dialami oleh korban. Jurnalis juga menginginkan perusahaan media untuk membantu korban selama berproses untuk mendapatkan keadilan yang berperspektif korban, serta memiliki kelas gender untuk menyetarakan pemahaman tentang kekerasan seksual.
AJI Jakarta berharap, hasil survei ini tak hanya digunakan oleh internal kami dalam membentuk SOP Penanganan Kekerasan Seksual yang komprehensif, tapi juga bisa dijadikan landasan oleh Dewan Pers dan perusahaan media untuk membentuk SOP Penanganan Kekerasan Seksual yang berkeadilan bagi korban, sehingga ke depan, kerja jurnalis semakin baik dengan ruang kerja yang aman, nyaman, dan bebas dari kekerasan seksual.
Narahubung dan Permohonan Hasil Survei:
AJI Jakarta (wa 081935007007)