SIARAN PERS
Jakarta, 28 Juli 2021-Upaya perlindungan terhadap buruh dan petani tembakau belum berjalan signifikan sesuai amanat UU Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Salah satu indikasinya, terlihat dari adanya peningkatan ekspor dan impor tembakau sejak tahun 2011 hingga 2017.
“Jumlah ekspor dan impor tembakau paling tinggi terjadi pada tahun 2017, dengan jumlah ekspor 29.134 ton dan impor 121.390 ton,” kata Retno saat menjadi pembicara pada Diskusi Daring Media “Petani dan Buruh dalam Upaya Pengendalian Tembakau”, Senin (26/7).
Pembatasan nilai impor tembakau dipandang perlu untuk melindungi petani tembakau lokal, sebagaimana tertuang dalam UU dan juga Peta Jalan Pengendalian Dampak Konsumsi Rokok bagi Kesehatan yang telah disusun oleh Kementerian Kesehatan.
Sementara dari sisi produksi, data Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian pada periode 2017-2021 menunjukkan jumlah produksi tembakau yang cenderung stagnan.
Hal itu sejalan dengan survei MTCC Universitas Muhammadiyah Magelang (Unimma) terhadap petani tembakau yang belum beralih tanam. Temuan survei menunjukkan luas lahan yang ditanami tembakau semakin berkurang karena lahan tersebut lebih dimanfaatkan untuk menanam tanaman pangan. Di sisi lain, survei terhadap petani yang sudah beralih tanam menemukan realita bahwa petani sempat mengalami kendala saat melakukan diversifikasi tanaman. Hanya saja, mereka tetap berusaha dengan komoditas lain seperti hortikultura dan kopi. “Uniknya, petani kemudian memperoleh keuntungan yang lebih besar bila dibandingkan dengan tanam tembakau saja,” kata Retno.
Ketua Bidang Kajian dan Pengembangan Komnas Pengendalian Tembakau Widyastuti Soerojo mendukung langkah diversifikasi yang dilakukan para petani. Pasalnya, petani tembakau kerap dihadapkan dengan kondisi cuaca, harga jual, impor, hama (penyebab gagal panen) yang membuat mereka merugi. Sementara itu, industri tembakau merupakan salah satu industri yang paling menguntungkan di dunia.
“Pada tahun 2018, lebih dari 5,3 triliun rokok dijual ke lebih dari 1 miliar perokok di dunia,” ujarnya.
Untuk mempertahankan nilai keuntungan ini, industri rokok menyasar anak-anak dan remaja. Remaja hari ini adalah pelanggan tetap untuk hari esok dan mereka satu-satunya sumber
perokok pengganti. “Jika para remaja tidak merokok maka industri akan bangkrut,” ungkap Widyastuti.
Industri rokok terus bermanuver dengan mengeluarkan slogan-slogan menyesatkan seperti klaim rokok dengan pengurangan tar dan nikotin secara substansial akan jauh lebih menyehatkan. Padahal, dasar bisnis industri ini tetaplah nikotin yang menyebabkan kecanduan.
Tak hanya itu, industri rokok juga berupaya menggagalkan revisi PP Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau. Mereka berargumen dengan alasan pandemi Covid-19 dan dalih kalau revisi PP Pengamanan Zat Adiktif akan mematikan petani tembakau/pekerja industri serta sejumlah kontra- argumen lainnya.
Widyastuti menjelaskan, revisi PP Nomor 109 Tahun 2012 seharusnya menjadi titik tolak terhadap visi Indonesia 2045 Indonesia Maju, sebagaimana tertuang dalam RPJMN 2020-2024. “Revisi PP 109/2012 terhadap produk tembakau tidak dilarang, tetapi dikendalikan konsumsinya,” ujarnya.
Selama ini, pengawasan pelaksanaan PP 109/2012 tidak efektif. Ia mengusulkan perlu kejelasan wewenang dan tanggung jawab. Dan, harus juga menyesuaikan terhadap perkembangan teknologi. Misalnya, tren produk tembakau baru (vape dan rokok dengan pemanasan) yang sudah dikenai cukai sejak tahun 2018, ternyata mengalami kekosongan hukum. “Ini kaitannya dengan regulasi pengendalian konsumsi.”
Belum lagi, lonjakan teknologi digital dimanfaatkan untuk promosi masif produk rokok konvensional dan rokok jenis baru yang merusak otak depan (prefrontal contex). “Bayangkan apa yang terjadi pada remaja yang seharusnya otaknya berkembang sampai usia 20 tahun, kemudian terganggu pengembangan kognitif, daya analitik dan stabilitas emosinya,” kata Widyastuti.
Karena itu, Widyastuti menilai Indonesia gagal mencapai target RPJMN 2014-2019 di mana target prevalensi dari 7,2% menjadi 5,4% (2019), ternyata meningkat menjadi 9,1% (2018) tepat 1 tahun sebelumnya.
Selama ini, revisi PP 109/2012 juga tidak menegasikan situasi darurat Covid-19. Seluruh sumber daya dan perhatian telah difokuskan untuk mengatasi eskalasi pandemi dan dampaknya. “Karena itu, situasi darurat pandemi Covid-19 dan revisi PP 109/2012 tetap harus menjadi prioritas,” katanya.
Menuntaskan revisi PP 109/2012 akan mengurangi beban pemikiran pemerintah karena revisi hanya melakukan penyempurnaan sesuai perkembangan. “Bukan membuat PP baru,” tegas Widyastuti.
Narahubung: AJI Jakarta (0819-3500-7007)