Siaran Pers
Untuk Diterbitkan Segera
Jakarta, 12 April 2023-Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta kembali meluncurkan Survei Upah Layak Jurnalis 2023. Survei ini berangkat dari temuan sepanjang tahun 2022 dengan masuknya 30 aduan pelanggaran ketenagakerjaan yang dialami tujuh pekerja di tujuh media dan dua pekerja nonmedia.
Total ada 11 aduan yang masuk ke posko yang dibuka oleh AJI Jakarta dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers sejak Maret 2020. Aduan itu berkaitan dengan perselisihan hak atau kepentingan yang diikuti oleh pemberhentian hak kerja (PHK).
Kemudian ada 10 aduan terkait perselisihan PHK, 8 aduan soal perselisihan hak, penundaan pembayaran upah, penundaan upah, pemotongan upah, atau tidak membayar upah sama sekali. Selanjutnya, terdapat satu aduan mengenai perselisihan hak dan kepentingan. Dalam kasus ini, perusahaan media juga memaksa pekerja melakukan pekerjaan saat waktu istirahat.
Tahun ini, AJI Jakarta menyurvei 97 responden dengan kategori jurnalis yang mempunyai masa kerja 0 hingga tiga tahun. Survei ini dilakukan dengan menyebar formulir melalui grup-grup jurnalis maupun pribadi sejak Februari 2023.
“Setiap tahun, AJI Jakarta melakukan survei upah layak dengan meminta responden kategori jurnalis pemula, dengan masa kerja maksimal tiga tahun di Jakarta,” kata Ketua Divisi Advokasi dan Ketenagakerjaan AJI Jakarta, Irsyan Hasyim, Selasa, 11 April 2023.
Total 97 responden tersebut meliputi 59 pekerja media laki-laki dan 38 pekerja media perempuan. Para responden berasal dari 37 media online, lima media cetak, delapan media televisi, dan satu media radio. Sebagian besar responden mempunyai masa kerja dua sampai tiga tahun, yakni 56 jurnalis. Kemudian ada 25 jurnalis dengan masa kerja satu sampai dua tahun kerja, dan 16 jurnalis dengan masa kerja di bawah satu tahun.
Dalam konteks status di perusahaan media tempat para responden bekerja, ada 53 jurnalis masih berstatus kontrak, 37 jurnalis berstatus tetap, dan tujuh jurnalis lepas (freelance). Dalam survei ini, AJI Jakarta menemukan sebanyak 42 jurnalis bekerja lebih dari delapan jam. Sebanyak 88 jurnalis atau 90,7 persen juga menjawab tidak mendapat uang lembur ketika bekerja lebih dari delapan jam. Sedangkan, enam jurnalis mendapat uang lembur dan tiga sisanya menjawab tidak tahu.
Kemudian, 64 jurnalis mendapat jatah libur dua hari dalam satu minggu, 32 jurnalis libur satu hari dalam satu minggu, dan satu jurnalis mendapat jatah libur di atas dua hari dalam satu minggu.
AJI Jakarta juga menemukan 43 responden dengan pendapatan di bawah upah minimum provinsi (UMP) DKI Jakarta tahun 2023. Sebagian besar responden, yakni 86 jurnalis menjawab jika take home pay atau gaji yang mereka terima dalam sebulan tidak layak.
“Kami menemukan responden yang menyebut mendapat upah dalam sebulan hanya Rp2.000.000. Ini sangat jauh dari standar UMP yang ditetapkan Pemprov DKI Jakarta,” ucap Irsyan. AJI Jakarta juga menemukan jurnalis dengan durasi kerja di bawah tiga tahun yang mendapat upah Rp8.000.000 dalam satu bulan.
Dalam menentukan upah layak jurnalis tahun 2023, AJI Jakarta merujuk pada Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 18 Tahun 2020. Penentuan upah layak itu juga disesuaikan dengan kebutuhan jurnalis dalam satu bulan yang meliputi tempat tinggal, makanan, sandang, perangkat kerja, kebutuhan pandemi, hingga kebutuhan lainnya.
“Upah layak jurnalis di DKI Jakarta tahun 2023 yaitu Rp8.299.229, ini meningkat dari Survei Upah Layak Jurnalis di Jakarta tahun 2022 yaitu Rp8.090.000,” ucap Irsyan.
Menanggapi survei ini, Program Officer International Labour Organization (ILO) Jakarta, Lusiani Julia menyebut, upah layak bagi para pekerja harus ditinjau dari standar internasional. Salah satunya, upah bagi seorang pekerja harus juga mempertimbangkan kebutuhan keluarganya.
Menurut Lusi, masih banyak hal yang bisa dieksplorasi dari temuan AJI Jakarta dalam survei upah layak kali ini. Salah satu upaya yang bisa didorong untuk memperjuangkan upah layak bagi para jurnalis maupun pekerja media adalah ruang negosiasi.
“Bicara upah harus adanya perundingan bersama antara manajemen perusahaan dan pekerja dalam aspek ekonomi. Mungkin yang perlu didorong adalah negosiasi pekerja dan media tempat jurnalis bekerja,” jelas Lusi.
Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Wenseslaus Manggut mengatakan pihaknya telah menyurvei kondisi keuangan media pada 5 Mei 2022. Total ada 319 anggota AMSI yang disurvei.
Dari jumlah tersebut hanya 1 media yang tutup yakni di daerah Jawa Timur. Beberapa media di Jawa Timur, Papua, dan Kalimantan Timur yang melakukan PHK terhadap karyawannya.
“Sekitar 804 media anggota AMSI membatalkan perekrutan anggota baru, dan hampir 100 persen tidak ada perekrutan tenaga kerja baru,” ujarnya.
Dia mengungkapkan hal ini disebabkan terjadinya penurunan pendapatan keuangan atau revenue. Jumlahnya variatif, 25 sampai 80 persen. Secara keseluruhan rata-rata terjadi penurunan pendapatan sekitar 45 persen.
“Sekitar 206 sudah melakukan pemotongan gaji dan pembayaran THR, yang jumlah persentasenya bervariatif. Secara umum pengurangan gaji dikompensasikan dengan pengurangan jam kerja,” ungkap Wenseslaus.
Sekitar 15 perusahaan pers anggota AMSI sudah melakukan penundaan pembayaran gaji dan durasinya variatif. Menurut Wenseslaus, hal itu merupakan dampak pandemi Covid-19. Sampai saat ini dampak tersebut masih terjadi.
Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu mengapresiasi survei upah layak yang diluncurkan AJI Jakarta. Menurut Ninik, hal ini bisa menjadi alat advokasi untuk mendorong terwujudnya upah layak bagi jurnalis.
“Dalam jangka panjang perlu membangun standar kerja layak jurnalis. Bebas dari kekerasan seksual, jam kerja, lembur dan lain-lain,” jelasnya.
Namun, Ninik terkejut dengan hasil survei yang dikeluarkan AJI Jakarta sebesar Rp8.299.229. Menurutnya, gaji jurnalis pemula sebesar Rp5 juta saja, beberapa perusahaan pers sudah kewalahan.
“Nah ini antara nilai ideal dan kemampuan. Kalau di daerah itu hampir rata-rata gak sanggup membayar UMP. Di satu sisi kita bicara soal hak, di satu sisi bicara media berkelanjutan,” ucap Ninik.
Dia mengungkapkan, banyak perusahaan pers di daerah yang menyiasati gaji wartawannya dengan mencari iklan dengan skema bagi hasil.
“Kalo ditanya gajinya berapa lebih dari Rp10 juta karena dapat dari iklan, wartawannya cari iklan padahal dalam konteks kerja media gak boleh, harus dibedakan antara bisnis dan kerja redaksi,” katanya.
Lanjut Ninik, kalau berbicara kesejahteraan jurnalis tidak hanya fokus pada gaji saja. Hal lain yang patut diperhatikan adalah tersedianya asuransi yakni BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan. Ninik mengaku, Dewan Pers sudah mengambil langkah untuk memastikan perusahaan pers menjamin kesejahteraan jurnalis.
Di antaranya lewat tahapan verifikasi administrasi dan verifikasi faktual, termasuk bukti pembayaran gaji wartawan dan bukti pemberian gaji ke-13/THR bagi wartawan. Hal lain, mengecek kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan.
Tantangan terbesar mengadvokasi upah layak dan aturan jam kerja yang relevan bagi jurnalis semakin berat sejak disahkannya UU Cipta Kerja, Perppu Cipta Kerja, dan turunannya. Sementara, aturan-aturan ketenagakerjaan baru tersebut tidak mengakomodasi upah sektoral. Sistem regulasi ketenagakerjaan khususnya bagi jurnalis semakin carut-marut. Ke depan, AJI Jakarta melihat perlu perumusan regulasi khusus bagi jurnalis dan pekerja media terkait upah layak dan aturan jam kerja bagi jurnalis secara detail.
Narahubung:
AJI Jakarta https://wa.me/6281935007007